Ia juga menyatakan dukungannya terhadap lembaga seperti Komnas Perempuan dan proses keadilan transisional. Menurutnya, empati kepada korban tidak harus bersifat emosional semata, tetapi juga harus mengakar pada pemahaman yang benar agar keadilan dapat ditegakkan dengan kokoh.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pratikno, turut memperjelas bahwa polemik ini seharusnya difokuskan pada aspek terminologi.
"Fokusnya bukan ada atau tidak adanya kekerasan, tapi soal istilah yang digunakan. Itu penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penulisan sejarah," ujar Menko PMK kepada media.
Lebih lanjut, Menteri Fadli Zon juga menyampaikan bahwa dalam era informasi yang cepat dan penuh kesimpulan instan, ada tanggung jawab kolektif untuk menjaga keseimbangan antara empati dan keakuratan fakta. Ia mengingatkan agar penyusunan sejarah diserahkan kepada sejarawan, akademisi, dan lembaga resmi yang bekerja secara ilmiah dan bertanggung jawab.
“Ini bukan tentang saya. Ini tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, menulis sejarah dengan kepala dingin, hati terbuka, dan kaki yang berpijak pada fakta,” tutupnya.
Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu episode tergelap dalam sejarah Indonesia modern. Seruan Fadli Zon agar publik bersikap jernih dan adil dalam memahami sejarah, bisa menjadi momentum penting. Momentum untuk menolak dua bahaya sekaligus: lupa dan manipulasi sejarah.